Obrolan Siang
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan' #SafetyFirst
Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com.
Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com.
Cekidot~
Suasana di kantin lumayan ramai, Bagus dan Andi duduk
menurunkan nasi yang telah mereka makan sembari mengobrol.
“Ngomong-ngomong polisi sini baik-baik ya?” Bagus memulai
pembicaraan setelah meneguk habis air minumnya.
“Apanya? Kemarin aku habis dua ratus ribu ditilang.”
“Wah, mana belum gajian.. Kok bisa Ndi?”
“Jadi kan ada razia, keluapaan enggak bawa STNK.”
“Gak lagi diperpanjang, ato balik nama, ato opo kek
buat alasan gitu?”
“Gak kepikiran bro, hehehe..” kekeh Andi sambari
menyulut rokok. “Lagipula aku kan jujur, salah sendiri sih gak bawa, apesnya
kena razia. Yo wes lah,” lanjutnya setelah mengebulkan asap rokoknya ke udara.
“Terus polisi sini baik-baik tadi kenapa?”
“Berangkat tadi aku lihat ada pengendara motor gak
pakai helm, parahnya gak cuma satu atau dua pengendara, padahal di bangjo ada
pos polisi lho, ada polisinya juga, lha dalah di diemin aja, kalo di Jawa pasti
udah didatangin, dikejar, dan berakhir diceramahi panjang sama polisinya,” jelas
Bagus panjang dengan logat medhoknya.
Bagus ini asli Jogja. Dia merantau ke Kalimantan,
awalnya tidak ada pikiran untuk mencari rejeki di tempat yang bahkan
terpisahkan oleh luasnya samudra, namun mau bagaimana lagi rejekinya malah di
sini, ya di syukuri saja. Oh, iya dia masih baru di Kalimantan, baru sekitar
seminggu lalu dia sampai untuk pertama kalinya di pulau ini. Tidak hanya
masalah keselamatan berlalu lintas yang dia herankan. Tentu saja yang
membuatnya terkaget-kaget untuk pertama kalinya adalah masalah harga yang
terpaut amat sangat banyak dengan daerah asalnya. Terutama makanan, bahkan
Bagus sempat ternganga di depan penjual nasi goreng pinggir jalan yang
memberinya harga seperti di restoran paling mahal di Jogja. Setelahnya dia
langsung menghabiskan nasi goreng itu tanpa bersisa satu butirpun.
“Opo maneh Gus? Kok semangat men le cerito?” Eko
menghampiri mereka dan bergabung duduk bersama.
“Iki lho mas Eko, polisi kene apik-apik kabeh. Mosok
wong ngango motor ora nganggo helm dinengke wae, nek nang Jowo mesti dioyak to
mas karo polisine?” Bagus bebicara dengan bahasa Jawa dengan senior yang juga
berasal dari Jawa.
“Hahahaaa... Aku biyen yo gumun kok Gus. Saiki wes
ora, malah aku yo kadang ora nganggo helm, hahahaa..” Eko tertawa.
“Walah mas Eko ki!”
“In Indonesia, please?” Andi yang orang asli Kutai
tidak tahu menahu omongan kedua teman Jawanya itu meminta pencerahan.
“Gini lo, Ndi. Mas Eko mosok ya ngikut gak pakai
helm gitu gara-gara polisinya baik. Kan helm ki penting tho, biar gak
kenapa-napa tho ya,” Bagus berusaha menggunakan bahasa Indonesianya yang
belepotan untuk menjelaskan pada Andi.
“Iya sih, biasa di sini gitu. Polisinya galak kalau
lagi razia aja, kalo enggak ya terserah pengendara lah mau jungkir balik ya
polisinya gak peduli, tapi gak semua polisi begitu loh ya?” Andi meralat
pendapatnya sendiri.
“Kok gitu yo? Kemarin sempat lihat orang bonceng
motor bawa helm, beneran dibawa jal, enggak dipakai di kepala, malah di taroh
di dengkul. Nek pingin ngelindungin dengkul kenapa gak pakai pelindung dengkul
ae yo?” Bagus berdecak.
“Aku lho, sempat kebawa kebiasaan di sini begitu
pulang ke Jawa,” kali ini Eko yang berkomentar.
“Pripun mas? Gimana?” Bagus menggunakan bilingual
medoknya.
“Pas mudik kemarin, aku bawa motor gak pakai helm.
Eh dicegat polisi. Mau ngeles ‘deket aja kok pak cuma di ujung jalan situ’ gak
mempan.”
“Iya tho, polisi sini baik-baik,” komentar Bagus.
“Yang bener malah yang begitu ya, bukannya polisi
yang baik yang selalu mengingatkan masyarakat” Andi geleng-geleng kepala
menanggapi komentar Bagus.
“Tapi yang lebih bikin heran itu
bukan polisi atau penggunaan helmnya,” suara Eko terdengar serius. “Heran
sekarang banyak banget anak di bawah umur sudah berani-beraninya mengendarai
motor,” lanjutnya.
“Ah, iyo.. Tetanggaku lho masih
SD udah motor-motoran keliling kampung, kadang boncengan langsung bertiga,
berempat. Gak pakai helm maneh,” Bagus ikut berwajah serius.
“Orang tuanya pada kemana itu ya?
Bisa-bisanya ngebiarin anaknya bawa motor,” komentar Andi.
“Nah, kadang orang tuanya malah
nyuruh si anak belajar motor, padahal belum cukup umur. Alesannya biar bisa
disuruh pergi ke warung lah, kan enggak di jalan besar lah, biar kekinian lah,
parah!” Eko menyahuti.
“Hahaha orang tua yang aneh, tapi
memang kebanyakan orang tua yang biasa manjain anaknya begitu ya. Gak tegaan
sama permintaan anak, tapi kadang malah lupa sama keselamatan,” Andi tertawa
sedangkan Bagus hanya manggut-manggut paham.
“Dikiranya kalau kecelakaan motor
udah pasti di jalan besar, tolong deh, namanya kecelakaan gak mesti terjadi di
jalan raya tho? Kalau Tuhan menghendaki ya kepeleset kulit pisang aja bisa
bikin nyawa bablas,” jelas Eko geleng-geleng kepala.
“Ah, pernah ni, anak tetangga
kecelakaan, mbokne gak trimo. Marah-marah nyalahin pengendara satunya. Eh
begitu di usut anaknya ngelawan arus di jalan satu arah. Jian bocah!” cerita
Bagus.
“Ibunya juga salah, kenapa
anaknya dibiarin bawa motor?” Andi mengomentari.
“Ya, itu tadi.. Jadi orang tua
sekarang itu tantangannya banyak. Mau ngelarang anak nanti dikira pengekang,
tapi dituruti yo bahaya,” Eko menerawang jauh.
“Terus gimana baiknya?”
“Udah pasti kita harus pinter
dong bro, orang tua yang baik itu harus bijak. Kalau biarin atau malah kasih
ijin anak bawa motor apalagi masih di bawah umur berarti orang tua itu memang
gak ada bijak-bijaknya. Kalau orangtua bijak pasti bisa lah ngasih pengertian
ke anaknya, tentang bahayanya, akibatnya atau malah kasih support apalah biar
anaknya melakukan berbagai hal potitif tanpa memberi iming-iming motor sebagai
hadiahnya. Yakin deh bro, kalau orang tua bijak pasti si anak juga gak mungkin
banyak gaya berani minta ini-itu, menuntut fasilitas wah, dan sebagainya,”
celoteh Andi, sedangkan daritadi Bagus mengangguk-angguk setuju.
“Yang jelas orang bijak itu gak
pakai hp sewaktu berkendara,” sahut Eko.
“Lha kok? Hubungaya opo mas?”
tanya Bagus.
“Sekarang lho banyak dipasang
baliho-baliho kampanye tertib, aman dan selamat berkendara, salah satunya tidak
menggunakan hp selama berkendara. Orang bijak pasti mengerti gak cuma orang
bijak sih, semua yo pasti tau lah, tapi masih ada aja yang ngeyel. Padahal mereka
sudah dewasa tho?”
“Mungkin mereka punya konsentrasi
yang bisa dibagi-bagi mas,” Bagus komentar geje.
“Ya, tapi kan mereka udah dewasa
tho Gus, harusnya kan ngasih contoh yang baik lah buat anak-anak muda yang
memulai masa-masa pergalauan itu.”
“Bener bro, em, jangan-jangan si
Bagus ini juga sering main telpon sambil berkendara?” Andi mengangkat kedua
alisnya melihat ke arah Bagus, sedangkan yang dilihat hanya cengengesan saja.
Mungkin membenarkan?
“Terus juga, kalau berkendara di
jalan jangan terlalu ngebut Gus, apalagi di Kalimantan ini,” Eko kembali
berujar.
“Lha ngopo mas? Eh, tapi aku
mesti ati-ati kok, gak pernah ngebut, nek lampu kuning yo aku alon-alon kok mas,”
jawab Bagus.
“Tenane?” Eko mengomentari Bagus
yang berhati-hati ketika lampu berwarna kuning karena biasanya orang-orang malah
mengartikan warna kuning sebagai perintah untuk menambah kecepatan agar tidak
terkena lampu merah. “Nek mau ngebut di sini susah, jalannya rame, wes ngono gak semua jalan aspalan alus Gus,”
lanjut Eko.
“Hahaha.. iya bro, kebanyakan
remaja sini kecelakaan gara-gara belagak jadi pembalap di sirkuit Sepang,
padahal medannya di sini cocok buat off-road,” Andi menanggapi.
“Walah, kalo gitu besok tak beli
motor trail wae yo?” Bagus memang berencana mau membeli motor.
“Jangan!” seru Eko dan Andi bebarengan.
“Lha ngopo mas?” Bagus memasang
wajah bingung.
“Berisik! Suaranya bikin pusing,”
kata Andi.
“Asepnya gak nguati Gus,” Eko berpendapat.
“Lha terus?”
“Motor biasa wae, sakarepmu lah
sing bahan bakarnya tahan lama tur perawatannya yo gak ribet.”
Tiba-tiba Dede datang bergabung dengan wajah tidak
bersemangat. Duduk tanpa menyapa terlebih dulu pada pendahulunya yang sudah
duduk di meja kantin.
“Kenapa De?” tanya Eko, orang paling senior di
antara mereka.
“Kurang asem kok Cecep tuh mas, dia nikung aku!”
“Gayamu De, kayak pembalap MotoGP aja,” komentar
Andi namun langsung bungkam karena di pelototi Dede dengan mengerikannya
ala-ala Susana.
“Gini loh mas, tadi di pengkolan dekat gerbang itu
Cecep nyalip sambil ngebel panjaaaang banget, heboh gitu, ya aku yang sensitif
ini pasti kaget lah, motor aku hampir jatuh tauk. Untung keseimbangan aku bagus
banget jadi aku gak jatuh, eh Cecep malah ngakak di motornya sambil terus
jalan. Gak ada minta maafnya. Huh!”
Oke, Dede ini sedikit lebay, dan yang pasti Dede ini
cerewet bahkan mengalahkan perempuan.
“Untungnya ya aku bukan Vallentino Rossi, coba kalau
aku kayak dia pasti udah jatuh dia aku tendang,” lanjutnya. “Huh, aku doain dia
kecelakaan di jalan, terus aku photo, aku upload di facebook dan pasang status
‘doakan orang ini biar masuk surga’, sambil nyuruh orang-orang komentar amin.
Huh, kurang baik apa aku ini? Masih mau-maunya doain dia masuk surga,” kata
Dede panjang lebar.
“Ya ampun De, ati-ati lho nek ngomong ki. Omongan
itu doa, nanti kalo kejadian beneran kan
serem tho,” Bagus mengomentari pertama kali sambil bergindik ngeri.
“Iya, parah lu bro, kalo ada kecelakaan itu tolongin
kek, eh, ini malah update status,” Andi kembali geleng-geleng kepala.
“Nah ini ni. Satu lagi orang yang gak bijak. Mungkin
pikiran orang yang upload photo di facebook itu baik, mau ngasih info misalnya,
mau mengingatkan orang-orang agar lebih berhati-hati dalam berkendara, atau
mendoakan dengan niat yang benar-benar baik. Tapi tetep aja, gak pantas
photo-photo mengerikan begitu di share di jejaring sosial,” Eko berbicara tidak
kalah panjangnya dengan Dede. “Coba bayangin kalau misalnya kamu diposisi
korban yang diphoto, photomu terpajang di wall facebook peng-upload, belum lagi
puluhan orang nge-share dan terus tersimpan selama bertahun-tahun, suatu saat
keluargamu melihatnya lagi, muka dan badan kamu yang berantakan akibat
kecelakaan gimana perasaan keluarga kamu lihatnya...”
“Stop! Stop! Udah mas Eko, aku gak bisa bayangin,
pasti keluarga aku sedih banget huhuhu,” Dede yang memang dasarnya perasa kini
mulai menangis lebay. “Lagian aku gak serius ya, bercanda aja tadi hiks,”
lanjut Dede.
“Bercanda juga harus pilih-pilih bahan kali De, gak
pantes kecelakaan dijadiin bercandaan,” tambah Andi.
“Lho itu Cecep!” Bagus menunjuk seseorang yang kini
juga berjalan menghampiri mereka.
“Weh, Dede kenapa nih?” tanya Cecep heran melihat
Dede terisak gaje.
“Gara-gara kamu ini, tadi pagi kamu nikung dia tho?”
Bagus antusias bertanya.
“Hah?”
“Nyalip sambil ngagetin Dede! Bahaya lo itu Cep,”
Andi mengingatkan.
“Weh, salah siapa disapa gak tau-tau. Ternyata dia pake
headset saat berkendara, ya tak pepet aja sambil ngebel,” jelas Cecep.
“DEDE!” serempak Eko, Andi dan Bagus berteriak.
Sedangkan Dede hanya meringis ngeri menanggapinya.
~END~
Kalo di Jogja sih nggak cuma dikejar, malah kayak lagi balapan sama polisinya :-D
BalasHapusiyes~
Hapuspernah balapan ya sama polisi jogja? XDD
eh, tapi pesepeda itu penguasa jalan kak?
Kunjungi juga Situs
BalasHapushttps://www.animelii.site/